Kamis, 26 April 2012

Pembacaan puisi MP3: Puisi Tukang Rambutan, Surat dari Ibu, PadaMu Jua, Sawah

pembacaan puisi ini dapat digunakan untuk modeling pembelajaran Membaca Puisi. Biasanya saya putarkan sebelum pembelajaran sehingga anak senang dan tertarik untuk membaca puisi.


Puisi : Seorang Tukang Rambutan



Puisi : Surat Dari Ibu



Puisi : Pada-Mu Jua



Puisi : Sawah

contoh RPP BAHASA INDONESIA

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah salah satu perencanaan yang harus dibuat guru sebelum membelajarkan siswa di kelas. Seorang guru harus membuat RPP yang sesuai kurikulum sekolah. Tetapi kadang kala guru malas membuat RPP yang sesuai kondisi dan kemampuan siswanya. Dia hanya mengkopi paste RPP teman atau yang dibuat MGMP bahkan mengunduh dari internet. Padahal RPP itu belum tentu sesuai dengan anak didik di sekolahnya. RPP yang dianjurkan sekarang ini adalah RPP yang memuat pendidikan karakter untuk siswa. Juga memuat unsur eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. RPP yang dianjurkan adalah RPP yang dilengkapi dengan tujuan, materi dan penilaian.

Berikut ini adalah contoh RPP yang saya gunakan untuk membelajarkan Bahasa Indonesia di kelas.




Rabu, 25 April 2012

contoh proposal ptk Bahasa Indonesia

Penelitian Tindakan Kelas masih menjadi hal yang ditakuti sebagian guru. Hal itu karena mereka belum terbiasa menulis. Penyebab ketakutan mereka masih ditambah dengan rasa malas dan malu untuk belajar. Padahal kalau kita mau belajar menulis PTK akan terasa mudah.
Pemerintah berupaya meningkatkan profesionalitas guru melalui PKG yang nantinya akan mewajibkan guru menulis PTK untuk kenaikan pangkat. Oleh karena itu kita harus memulai untuk belajar menulis dari sekarang. berikut ini adalah contoh proposal PTK yang pernah saya tulis.

contoh case studi

PELAJARAN BAHASA INDONESIA BUKANLAH PENJARA

OLEH: RIRIN HW, S.Pd


Saya adalah guru SMP. Saya menyukai pekerjaan ini. Profesi ini membuat saya merasa dibutuhkan orang lain. Walaupun saya kadang-kadang merasa bosan saat menemui kesulitan dalam kegiatan belajar di kelas. Selasa, tanggal 17 November 2009, saya berangkat dengan semangat tinggi. Saya membayangkan akan membuat siswa berhasil membuat sebuah naskah drama yang bermutu. Ya.. hari itu saya akan membelajarkan kompetensi menulis satra pada siswa kelas 8F dengan Standar Kompetensi: Mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis kreatif naskah drama, dan Kompetensi Dasar: Menulis kreatif naskah drama satu babak dengan memperhatikan keaslian ide.

Jam pelajaran pertama dimulai dengan bel pada pukul 7.00 WIB. Saya bergegas ke ruang kelas 8 A. Yang terletak agak jauh dari ruang kantor guru. Bayangan saya anak-anak sudah melaksanakan tugas membaca penjelasan tentang drama di buku paket seperti yang saya tugaskan pada pertemuan sebelumnya. Sampai di depan kelas pemandangan sangat jauh dari yang saya bayangkan. Banyak anak yang masih berdiri di depan. Sebagian kecil yang lain sibuk menyapu halaman kelasnya. Anak-anak yang ada di dalam kelas malah sibuk mengerjakan PR pelajaran matematika. Hal itu membuat saya agak marah walaupun kutekan sedapat mungkin agar tidak terlihat anak-anak.

Akhirnya siap juga anak-anak belajar. Saya berpikir sebaiknya kumulai saja pelajaran karena waktu yang tersedia berkurang sepuluh menit untuk menunggu anak menyapu lantai kelas. Setelah siswa berdoa, pelajaran saya mulai dengan menanyakan kegiatan siswa di rumah pada malam sebelumya. Anak-anak yang tadinya diam menjadi gaduh. Semua menjawab tadi malam sudah belajar. Saya putuskan untuk bertanya pada satu orang saja. Septi menjawab dia belajar dan menonton TV. Norma menjawab dia sudah membaca tapi belum selesai. Saya lalu mengajukan pertanyaan, “Siapa yang pernah menonton film atau sinetron?” (beberapa anak mengangkat tangan). “Bagus! Sinetron apa saja yang pernah kamu tonton? kelas menjadi gaduh, beberapa anak mengobrol sendiri mengenai sinetron yang ditontonnya. “ Sinetron apa yang kamu sukai, Yolandita?” Yolandita menjawab bahwa ia suka film Cinta Fitri. Lalu saya menanyakan apa yang membuat Yolandita suka film itu. “ Saya suka acting pemainnya, Bu!” Lalu saya bertanya,” Bagaimana para pemain dapat memainkan tokoh dalam sinetron itu?” Akhirnya saya menjelaskan bahwa para pemain memerankan tokoh berdasarkan naskah drama dan bagaimana ciri khas naskah drama. Siswa saya suruh membaca contoh naskah drama di buku paket. Beberapa anak tidak membawa buku paket. Saya ambil langkah menggabungkan anak yang tidak membawa buku tersebut bersama anak yang membawa buku.

Pembelajaran saya lanjutkan dengan membagi kelas dalam 9 kelompok yang beranggotakan masing-masing 4 orang. Semua kelompok saya tugaskan membuat naskah drama satu babak dengan ilustrasi yang saya tentukan dalam waktu 30 menit. Kedua soal ilustrasi saya ambil dari buku LKS yang sudah dimiliki siswa yaitu cerita tentang siswa SMP yang sedih karena mendapat hukuman dari guru dan cerita seorang siswa yang sombong. Mereka boleh memilih cerita yang disukai.

Saya lihat beberapa anak tidak langsung menggabungkan diri dengan kelompoknya. Ada anak yang hanya melihat anak lain membaca soal. Setelah saya bujuk barulah ia mau. Alasannya ia tidak mau bergabung karena merasa anggota kelompok ada yang tak mau bekerja. Ada juga anak yang hanya diam melamun. Setelah saya tanyakan, ternyata dia belum paham tugasnya. Waktu saya jelaskan tugas tadi, ia melihat anak kelas lain berolah raga. Saya sadar bahwa menggabungkan anak yang tidak berminat memang hal yang sulit. Tapi saya tidak kurang akal dengan memberitahukan padanya kalau nanti ada nilai tambah untuk keaktifannya.

Sampai waktu yang saya tentukan habis, ternyata masih ada kelompok yang belum selesai. Tadinya saya pikir dengan 4 orang anggota kelompok akan dapat bekerja sama secara cepat mengerjakan tugas itu. Ternyata ada anggota kelompok yang hanya bermain dengan temannya. Sementara anggota lain bekerja sendiri. Waktu saya tambah 10 menit. Saat presentasi, kesulitan lain muncul. Mereka tidak mau tampil mewakili kelompok. Setelah saya tegaskan bahwa pelajaran akan terhambat, akhirnya mereka mau. Itu pun hanya membaca naskahnya dengan suara yang sangat pelan sehingga anak yang lain tidak bisa mendengar. “Adakah yang mau menanggapi naskah teman kalian?” Tidak ada yang menjawab. Alasannya mereka tidak mendengarkan presentasi teman. Kemudian giliran kelompok lain. Kelompok yang maju diberi reward tepuk tangan. Setelah semua kelompok maju membacakan hasil karyanya, ternyata sebagian besar sudah bagus. Ada satu kelompok yang masih menggunakan kalimat gaul atau tidak baku. Beberapa masih ada yang salah atau terlalu panjang dalam menuliskan penjelasan acting pemain. Satu kelompok membuat naskah tidak sesuai ilustrasi soal.

Saya tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Padahal saya sudah yakin kalau mereka pasti bisa mengerjakan tugas itu karena ilustrasi sangat mudah dan sesuai situasi sehari-hari mereka. Mereka juga setiap hari menonton sinetron. Jadi seharusnya mereka sudah tidak asing dalam hal memahami drama. Saya merenung sejenak dan saya merasa mereka belum begitu jelas tugas yang harus dikerjakan. Apakah penjelasan saya kurang dapat dipahami anak? Apakah kalimat dalam LKS terlalu sulit dipahami? Padahal saya sudah mengulang dan menjelaskan soal ilustrasi itu. Mengapa siswa tidak dapat berkonsentrasi? Apakah anak-anak cenderung meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia karena menganggap pelajarannya mudah? Apakah saya sebagai guru terlalu galak ataukah malah dirasa kurang galak? Bagaimana cara memotivasi anak untuk bekerja sama dalam kelompok? Di sisi lain saya senang bahwa agaknya masih ada anggota yang sudah paham penulisan naskah drama. Walaupun mungkin hanya 80 % saja. “Toh masih ada naskah yang bagus,” kataku dalam hati.

Pelajaran selesai, walaupun ada kelompok yang belum sempurna pekerjaannya. Pertemuan kuakhiri dengan tugas siswa harus memperbaiki naskahnya untuk dibacakan besok pertemuan berikutnya. Dalam hati saya bertanya apakah siswa benar-benar senang dengan pembelajaran itu atau hanya sekadar mengikuti apa kemauan guru? Pertanyaan itu timbul karena ketika bel berbunyi, ekspresi mereka tampak sangat senang. Sebagian besar mungkin sangat bosan dengan pelajaran dan merasa terbebas dari “cengkeraman” penjara guru yang dianggap galak!